Thanks, Allah, for everything, for every single thing. It's innumerable.
by Febryo on Friday, April 22, 2011
- Leave your comment • Category: Kontemplasi
- Share on Twitter, Facebook, Delicious, Digg, Reddit


My friend said, feelings are there to be felt, not to be thought. You simply can't feel when you still use your brain. Yes, all we need is an open heart.
- Leave your comment • Category: Kontemplasi
- Share on Twitter, Facebook, Delicious, Digg, Reddit


Dari ribuan angkot yang berseliweran di jalanan Kota Bandung, angkot dengan rute Stasiun Hall - Sarijadi adalah angkot favorit gue. Why? Check these out!
- Pertama dan terutama adalah, karena angkot ini melewati rute surga jalur sutera di mana yang naik adalah para bidadari Maranatha yang cantik jelita. Saking banyaknya cewek cantik nan wangi yang ngangkot, gue berhipotesa bahwa cewek-cewek Maranatha adalah cewek-cewek cantik yang rendah hati, nggak gede gengsi, rajin beribadah, dan senang berkuda. Beda dengan cewek-cewek cantik di kampus gue, yang kebanyakan nggak mau naik angkot: bawa mobil sendiri atau nebeng pacar, padahal jarak kosan ke kampus bisa ditempuh dengan menggelinding.
- Kedua, karena angkot dengan rute ini didominasi oleh para wanita muda. Probabilitas lo jadi raja minyak (lelaki sendiri diapit wanita-wanita muda) setiap kali naik angkot ini adalah 80%. Percayalah, lo bakal ketagihan naik turun angkot ini tanpa tujuan yang jelas.
- Ketiga, pemandangan selama melewati jalan Surya Sumantri (Jalan di mana Kampus Maranatha berlokasi) sama indahnya dengan pemandangan di perjalanan menuju Lembang. Bedanya cuma objeknya saja, kalau di jalan menuju Lembang objeknya bercabang, berdaun, dan tidak bergerak, di jalan menuju Maranatha objeknya bergerak, berambut panjang, dan berkulit putih mulus.
- Terakhir, angkot ini paling jarang ngetem, kalau ngetem juga cuma sebentar, dan tarifnya juga fair, karena yang jadi supirnya biasanya orang Sunda/Jawa. Tanpa bermaksud rasis, tapi biasanya mereka lebih jujur dan fair dalam harga.
- 2 comments • Category: Personal thoughts, random
- Share on Twitter, Facebook, Delicious, Digg, Reddit


Semoga bukan saya doang yang (ngerasa) begini:
Tugas banyak, macem-macem, menggunung, deadline nggak bersahabat, dan jadi bingung harus ngerjain yang mana dulu? Akhirnya malah dilly-dallying nggak ngerjain apa-apa, sampai akhirnya deadline tinggal hitungan jam baru tergerak mengerjakan tugas-tugas (laknat) itu.
Begini nih kehidupan saya vs tugas-tugas, deadline artikel, laporan. Saya berharap di dunia ini bukan cuma saya yang begini. Niat ngeshare ini juga buat ngasi tau orang yang ngebaca postingan ini, yang ngerasain hal yang sama, bahwa: "lo nggak sendirian, meeen. gue juga begini!". Emang, dosa itu enakan dirasain rame-rame.
Tapi, bukan berarti saya nggak berniat buat berubah lho. Saya udah baca berbagai buku, dari topiknya yang to the point tentang time management, sampai yang bersifat psikologis. Tapi yah, belum nemu cara yang tepat buat membasmi dilly-dallying habit ini. My bad. Kalo ada yang nemu, mohon dishare ya.
Malam-malam terakhir kerja praktek di Jakarta diwarnai dengan mimpi aneh. Tepatnya tiga malam sebelum saya kembali ke Bandung. Mimpi aneh pertama bersetting di sebuah rumah kecil di Jakarta. Di dalam mimpi tersebut saya adalah seorang mahasiswa magister yang tinggal dan kuliah di New Orleans. Saya panik karena tidak mendapatkan tiket pesawat kembali ke New Orleans dari Jakarta. Cuma itu yang saya ingat. Saya tidak habis pikir mengapa harus New Orleans? Bahkan sebelumnya saya tidak pernah tahu New Orleans berada di kawasan Amerika bagian mana dan bagaimana kondisi geografisnya. Hanya sebatas mengenal nama.
Mimpi kedua di malam berikutnya tidak jauh berbeda, namun kali ini kota yang saya tuju adalah New York. Ayah berniat mengantarkan saya kembali ke New York dari Jakarta, namun kami kehabisan tiket. Akhirnya kami memutuskan untuk mencari tiket di sebuah agen penjualan tiket penerbangan kecil di sisi jalan, berharap ada dua orang ekspatriat Amerika yang menunda penerbangannya. Tepat setelah melewati pintu masuk gedung tersebut, kami tiba-tiba sudah berada di sisi kota New York, menghadap ke Brooklyn Bridge, dan saya bisa merasakan angin sejuk bertiup kencang menerbangkan rambut saya. Saya terbangun.
Mimpi terakhir, malam sebelum saya kembali ke Bandung, sedikit berbeda. Saya merasa bosan berada di rumah, di Newport Beach, pada liburan musim panas dan akhirnya memutuskan untuk berkendara menuju Fresno. Saya mengeluarkan mobil tua saya (sepertinya Pontiac pabrikan tahun '76) dan mulai berkendara. Setelah melewati belokan pertama, saya terbangun.
Ketika tiba-tiba teringat mimpi ini tadi sore, saya segera mengecek tempat-tempat yang menjadi setting mimpi saya melalui Google Earth. New Orleans ternyata berada di Los Angeles, di sisi selatan Amerika Serikat. Dan yang mengejutkan adalah fakta bahwa Newport Beach dan Fresno berada di California. Memang tidak jauh untuk ditempuh melalui jalan darat. Wow! Presisi! Akan sangat tidak masuk akal jika dalam mimpi saya berkendara dari Washington DC menuju Fresno.
Apa makna dari mimpi-mimpi itu? Saya juga bingung. What a dream! Well, It wasn't a dream, they were some dreams.

Father: "When the waters of the ocean rise to the heavens, they lose their bitterness to become pure again"
Son: "What?"
Father: "The ocean waters evaporate as they rise to the clouds. And as they evaporate, they become fresh. That's why it's better to go on your pilgrimage on foot than horseback; and better on horseback than by car; and better by car than by boat; and better by boat than by plane"