Thanks, Allah, for everything, for every single thing. It's innumerable.

by Febryo on Friday, April 22, 2011

Feeling

by Febryo

My friend said, feelings are there to be felt, not to be thought. You simply can't feel when you still use your brain. Yes, all we need is an open heart.

Angkot favorit gue di Bandung!

by Febryo on Thursday, April 7, 2011

Dari ribuan angkot yang berseliweran di jalanan Kota Bandung, angkot dengan rute Stasiun Hall - Sarijadi adalah angkot favorit gue. Why? Check these out!

  1. Pertama dan terutama adalah, karena angkot ini melewati rute surga jalur sutera di mana yang naik adalah para bidadari Maranatha yang cantik jelita. Saking banyaknya cewek cantik nan wangi yang ngangkot, gue berhipotesa bahwa cewek-cewek Maranatha adalah cewek-cewek cantik yang rendah hati, nggak gede gengsi, rajin beribadah, dan senang berkuda. Beda dengan cewek-cewek cantik di kampus gue, yang kebanyakan nggak mau naik angkot: bawa mobil sendiri atau nebeng pacar, padahal jarak kosan ke kampus bisa ditempuh dengan menggelinding.
  2. Kedua, karena angkot dengan rute ini didominasi oleh para wanita muda. Probabilitas lo jadi raja minyak (lelaki sendiri diapit wanita-wanita muda) setiap kali naik angkot ini adalah 80%. Percayalah, lo bakal ketagihan naik turun angkot ini tanpa tujuan yang jelas.
  3. Ketiga, pemandangan selama melewati jalan Surya Sumantri (Jalan di mana Kampus Maranatha berlokasi) sama indahnya dengan pemandangan di perjalanan menuju Lembang. Bedanya cuma objeknya saja, kalau di jalan menuju Lembang objeknya bercabang, berdaun, dan tidak bergerak, di jalan menuju Maranatha objeknya bergerak, berambut panjang, dan berkulit putih mulus.
  4. Terakhir, angkot ini paling jarang ngetem, kalau ngetem juga cuma sebentar, dan tarifnya juga fair, karena yang jadi supirnya biasanya orang Sunda/Jawa. Tanpa bermaksud rasis, tapi biasanya mereka lebih jujur dan fair dalam harga.
Sekian review angkot favorit gue. Terima kasih.

Meet my handsome cat, Garfield!

by Febryo on Tuesday, April 5, 2011

Sebenarnya kucing ini adalah kucing tetangga, tapi berhubung saya doyan beliin doi Whiskas, doi jadi jablay. Tiap pulang kuliah pasti disamperin ke kamar, terus minta dibelai-belai. Jablay sekali memang.

Ikatan batin semakin lama semakin erat di antara kami. Setelah satu minggu pendekatan, akhirnya saya memberanikan diri nyamperin tetangga mohon restu biar saya saja yang pelihara doi. Tetangga setuju, dan tampak senang sekali kucingnya ada yang ngurusin. Mencurigakan, jangan-jangan kucing ini merampas hak makan anak tetangga, akibat kerakusan personal.

Singkat cerita, akhirnya doi resmi menjadi kucing saya, dan saya namai doi Garfield. Simply because he acts like Garfield: gendut, pemalas, dan makannya banyak. FYI, menurut informasi yang saya terima, Garfield adalah haram jadah dari dua insan yang sedang birahi (apa dah), induk betinanya adalah seekor anggora dan induk jantannya seekor kucing kampung (memang ya, lelaki dari spesies manapun, tau yang mana yang cantik. Kodrat!). Makanya, seekor Garfield terlahir menjadi sosok yang ganteng, berbulu warna putih oranye, berbadan besar, berbulu lebat. Betina manapun akan terpukau melihatnya. Walaupun saya yakin, ketika para betina itu melihat bagaimana reaksi Garfield menghadapi tikus, saya yakin mereka akan ilfil dan segera beralih ke pejantan lain. Ngeliat tikus gede di tong sampah depan kosan, malah doi yang kabur. Dunia mulai terbalik memang.

Penampakan Garfield, lagi berpose di atas keset. Doi memang jorok.

Saya sayang sekali sama Garfield, persahabatan kami amat erat tak terpisahkan. Sampai suatu hari Garfield tiba-tiba hilang dari peredaran. Setelah tiga hari resah dan gelisah karena Garfield yang tidak kunjung nongol di kamar, akhirnya saya konfirmasi ke tetangga tentang keberadaan Garfield. Ternyata Garfield juga selama tiga hari belakangan tidak pernah lagi nyamperin rumahnya. Biasanya kalau saya kuliah Garfield suka balik ke rumah lamanya. Positif, Garfield diculik. Saya berharap ada yang nelpon: "kalau mau Garfield Anda selamat, Anda harus bayar dengan sejumlah uang senilai xxx". Sayangnya nihil. Semoga suatu saat nanti kita bertemu lagi ya, Gar!

Pernah begini, nggak?

by Febryo on Monday, November 8, 2010

Semoga bukan saya doang yang (ngerasa) begini:

Tugas banyak, macem-macem, menggunung, deadline nggak bersahabat, dan jadi bingung harus ngerjain yang mana dulu? Akhirnya malah dilly-dallying nggak ngerjain apa-apa, sampai akhirnya deadline tinggal hitungan jam baru tergerak mengerjakan tugas-tugas (laknat) itu.

Begini nih kehidupan saya vs tugas-tugas, deadline artikel, laporan. Saya berharap di dunia ini bukan cuma saya yang begini. Niat ngeshare ini juga buat ngasi tau orang yang ngebaca postingan ini, yang ngerasain hal yang sama, bahwa: "lo nggak sendirian, meeen. gue juga begini!". Emang, dosa itu enakan dirasain rame-rame.

Tapi, bukan berarti saya nggak berniat buat berubah lho. Saya udah baca berbagai buku, dari topiknya yang to the point tentang time management, sampai yang bersifat psikologis. Tapi yah, belum nemu cara yang tepat buat membasmi dilly-dallying habit ini. My bad. Kalo ada yang nemu, mohon dishare ya.

What a dream

by Febryo on Tuesday, July 13, 2010

Malam-malam terakhir kerja praktek di Jakarta diwarnai dengan mimpi aneh. Tepatnya tiga malam sebelum saya kembali ke Bandung. Mimpi aneh pertama bersetting di sebuah rumah kecil di Jakarta. Di dalam mimpi tersebut saya adalah seorang mahasiswa magister yang tinggal dan kuliah di New Orleans. Saya panik karena tidak mendapatkan tiket pesawat kembali ke New Orleans dari Jakarta. Cuma itu yang saya ingat. Saya tidak habis pikir mengapa harus New Orleans? Bahkan sebelumnya saya tidak pernah tahu New Orleans berada di kawasan Amerika bagian mana dan bagaimana kondisi geografisnya. Hanya sebatas mengenal nama.

Mimpi kedua di malam berikutnya tidak jauh berbeda, namun kali ini kota yang saya tuju adalah New York. Ayah berniat mengantarkan saya kembali ke New York dari Jakarta, namun kami kehabisan tiket. Akhirnya kami memutuskan untuk mencari tiket di sebuah agen penjualan tiket penerbangan kecil di sisi jalan, berharap ada dua orang ekspatriat Amerika yang menunda penerbangannya. Tepat setelah melewati pintu masuk gedung tersebut, kami tiba-tiba sudah berada di sisi kota New York, menghadap ke Brooklyn Bridge, dan saya bisa merasakan angin sejuk bertiup kencang menerbangkan rambut saya. Saya terbangun.

Mimpi terakhir, malam sebelum saya kembali ke Bandung, sedikit berbeda. Saya merasa bosan berada di rumah, di Newport Beach, pada liburan musim panas dan akhirnya memutuskan untuk berkendara menuju Fresno. Saya mengeluarkan mobil tua saya (sepertinya Pontiac pabrikan tahun '76) dan mulai berkendara. Setelah melewati belokan pertama, saya terbangun.

Ketika tiba-tiba teringat mimpi ini tadi sore, saya segera mengecek tempat-tempat yang menjadi setting mimpi saya melalui Google Earth. New Orleans ternyata berada di Los Angeles, di sisi selatan Amerika Serikat. Dan yang mengejutkan adalah fakta bahwa Newport Beach dan Fresno berada di California. Memang tidak jauh untuk ditempuh melalui jalan darat. Wow! Presisi! Akan sangat tidak masuk akal jika dalam mimpi saya berkendara dari Washington DC menuju Fresno.

Apa makna dari mimpi-mimpi itu? Saya juga bingung. What a dream! Well, It wasn't a dream, they were some dreams.

Flick with journey scene

by Febryo on Sunday, July 11, 2010

Untuk beberapa alasan, perubahan usia mempengaruhi selera saya dalam berbagai hal, selera terhadap film salah satu yang terasa sangat berubah. Jika di akhir tahun 2005 lalu saya rela mengantre panjang untuk menyaksikan premier The Goblet of Fire di sebuah bioskop kelas rendah di Pekanbaru, jangan harap Desember ini saya melakukan hal yang sama untuk The Deathly Hallows Part I. Alih-alih saya lebih senang mengunduh film-film festival (tanpa berniat membajak, di Indonesia film-film jenis ini sulit didapat dalam bentuk DVD original), yang kebanyakan merupakan drama dan based on a true story.

Dari banyak film yang saya tonton, film-film dengan setting di dalam mobil tua dan bercerita tentang sebuah perjalanan selalu memiliki kesan tersendiri bagi saya. Mengapa? Karena film jenis ini biasanya menyajikan sinematografi yang memukau dan pesan moral yang kuat. Eldorado (2008) film berbahasa Perancis yang bersetting di Belgia, menawarkan pemandangan perbukitan indah Belgia dan pesan moral mengenai dysfunctional family.

Film terakhir yang saya tonton adalah Le Grand Voyage (2004), film Prancis yang bercerita tentang perjalanan seorang ayah untuk menunaikan ibadah haji ke kota suci Mekah, dengan diantarkan oleh anak lelakinya yang merasa terpaksa menemani sang ayah. Pada akhirnya perjalanan tersebut menjadi pembelajaran hidup yang sangat berharga bagi sang anak. Ia belajar banyak hal dari berbagai konflik yang ia hadapi selama perjalanan. Salah satu dialog favorit saya dalam film ini:

Son: "Why didn't you fly to Mecca? It's a lot simpler"
Father: "When the waters of the ocean rise to the heavens, they lose their bitterness to become pure again"
Son: "What?"
Father: "The ocean waters evaporate as they rise to the clouds. And as they evaporate, they become fresh. That's why it's better to go on your pilgrimage on foot than horseback; and better on horseback than by car; and better by car than by boat; and better by boat than by plane"

Masih banyak film sejenis lain yang luar biasa: Elizabeth Town (2005), Paris, Texas (1984), Gerry (2002), Into The Wild (2007). Di luar naskah sebuah film, saya yakin bahwa perjalanan memang memberikan pelajaran hidup yang berharga bagi orang yang melakukannya.